OLEH
:
SAYYIDINA
ABDUL FATTAH RA
HERU
SIANDRA
DWI
PAKSI
KELOMPOK 3 AGAMA 4 B
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUSKA RIAU 2013
|
DAFTAR ISI
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . .. . . . . .. . .. . . . . . . . 1
Kata Pengantar .
. . . .. . . . . .2
BAB 1 PENDAHULUAN
Pengertian
Tasawuf . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . 3
BAB 2 TASAUF DAN PEMUNCULANNYA
DALAM ISLAM
A. Tasawuf
di Dunia Islam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
B. Perjalanan
menuju tasauf . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . 8
C. Kandungan
Akhlak Tasawuf dalam Al-Qur’an
. . . . . . . . . . . . . . . . . .9
D.
Tarekat . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11
BAB 3 PENUTUP
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Puji syukur kita panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan
begitu banyak nikmat kapada kami sehingga dengan tepat waktu dan sesuai
rencana makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang di harapakan.
Makalah yang berjudul “Sumber-sumber hukum Islam” ini di buat
berdasarkan dari berbagai referensi, baik itu media cetak maupun elektronik.
Sebaimana tujuan awalnya yaitu sebagai sumber pembelajaran dalam sub bab mata
kuliah Agama 4.
Ucapan Trimakasih kami
sampaikan pada Dosen pengampu Bpk.
Syarifuddin, selaku dosen mata kuliah Agama 4 B serta kepada semua pihak yang
telah mendukung terselesainya makalah kami ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
juga dapat di jadikan referensi tentang sumber-sumber hukum islam. Kami juga
sangat mengaharapkan saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca
sebagai koreksi bagi kami agar lebih baik lagi.
Penulis
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Tasauf
Arti tasawuf dan asl katanya menjadi pertikaian ahli logat.
Setengahnya berata bahwa kata itu diambil dari perkataan shifa’, artinya suci bersih,
ibarat kilat kaca. Kata setengah nya berasal dari kata “shuf” artinya bulu
binatang, karena benci mereka kepada pakaian yang indah. Dan setengahnya
diambil dari kaum “shuffah”, ialah sebuah segolongan sahabat-sahabat nabi yang
menyisihkan dirinya ke suatu tempat terpencil disamping mesjid nabi. Kata
setengahnya lagi dari perkataan “shuffanah” yang berati sebangsa kayu yang
kering yang tumbuh dipadang pasir tanah arab. Tetapi setengah ahli bahsa dan
riwayat mengatakan bahwa kata “shufi” bukanlah bahasa arab melainkan bahasa
yunani lama yang telah diarabkan. Asalnya “theosofie” (ilmu ketuhanan),
sehingga dicucapkan lidah orang arab dengan “tasawuf”.
Darimanapun asal pengambilan kata itu, yang pasti bahwa yang
dikatakan “tasawuf” atau kaum “shufi” adalah kaum yang telah menyusun kumpulan
menyisihkan diri masyarakat, dengan maksud membersihkan hati, laksana
kilat-kaca terhadap Tuhan, yang memakai pakaian sedehana yang berbeda dengan
orang pada umumnya. Hingga dirinya kurus kering bagaikan kayu dipadang pasir,
untuk memperdalam tentang penyelidikan hubungan makhluk kepada sang khaliknya.
Jika dinegara kita, juga terdapat hal yang sama yaitu tarikat. Ada
beberapa macam tarikat yaitu tarikat naqsyabandiyah, syaziliyah, samaniyah.
Masing-masing tarikat ini mempunyai aturan masing-masing yang berbeda dengan
yang lainnya. Maka dapat kita simpulkan bahwa tasawuf tidaklah memiliki
peraturan tetap atau yang tidak bisa diubah-ubah. Artinya tasawuf juga
mengalami perubahan dan kemajuan sesuai kemajuan zaman. Yaitu merupakan semacam
filasafat yang telah timbul sjak zaman nabi dan mengalami berbagai perubahan
sesuai keadaan negeri yang mereka tempati.
Tasawuf adalah
salah satu filsafat islam yang bermaksud untuk zuhud dari dunia yang fana. Akan
tetapi karena banyaknya pengaruh dari bangsa lain, maka masuk juga pengajian
agama dari bangsa lain itu kedalamnya. Hal itu disebabkan karena tasawuf
bukanlah agama melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama
dan setengahnya melenceng dari agama islam. Hal melenceng itu dikarenakan
masuknya pengaruh dari agama dan kepercayaan lain.
Akhlak tasawuf adalah sesuatu yang menetap
dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
terlebih dahulu. Akhlak tasawuf bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah.
Akhlak adalah "hal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah.
Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan tasawuf sebagai dua dimensi yang tak
mungkin terpisahkan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era
klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John
Dewey dan Emile Durkheim. Al-Ghazali membagi akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an
menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat
(buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik sesuai pesan Al-Qur’an adalah
taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal,
cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan,
banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan
takabbur serta riya'.
Salah satu di
antara khazanah tradisi dan warisan keilmuan tradisional Islam yang sangat
berharga adalah tasawuf. Dalam Al-Qur’an memang tidak terdapat satu kata pun
tentang “tasawuf”, namun seperti akan diuraikan dalam tulisan ini, dalam
Al-Qur’an terdapat pesan-pesan dan kandungan nilai-nilai tasawuf, tertutama
tasawuf akhlak atau akhlak tasawuf.
Tasawuf
merupakan suatu konsepsi pengetahuan yang menekankan nilai batin sebagai metode
bagi tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia. Karena
berhubungan dengan dimensi spiritual, tasawuf lebih mengupas
segi-segi kehidupan manusia yang bersifat esoteris dan batiniah, yang
menyangkut persepsi hati dan realitas ketuhanan yang suci dan Absolut (Mutlak tak
ada yang menyamai-Nya). Pada awal pemunculannya, tasawuf merupakan suatu
penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan (sunah) Nabi Muhammad saw,
yang sarat dengan dimensi spiritualitas. Tokoh-tokoh sufi generasi awal banyak
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa kenabian yang mereka yakini sebagai
satu-satunya jalan terbaik untuk mencapai Tuhan. Selain itu, mereka juga
menafsirkan kandungan ayat-ayat Alquran secara simbolis, sehingga pemahaman
atas realitas keTuhanan menjadi lebih menyeluruh.
Kepentingan
akhlak sebagai suatu gagasan bagi menjamin pembangunan negara yang mampan dan
seimbang dinyatakan dengan jelas sebagai salah satu di antara cabaran Wawasan
2020 yaitu untuk mewujudkan masyarakat bermoral dan beretika sepenuhnya, yang
rakyatnya kuat beragama dan nilai kerohanian serta disemai dengan nilai etika
paling tinggi. Dalam konteks pembangunan ekonomi dan politik di dalam sebuah
negara, pembinaan akhlak tasawuf versi Al-Qur’an dalam bentuk pembangunan
manusia yang seimbang akan menjamin pembangunan ekonomi yang mampan serta
kekuatan politik yang akan menjamin kelangsungan dan kecemerlangan bangsa.
Dalam konteks
sosial, akhlak tasawuf dapat menjadi sendi yang mengikat kukuh bagi hubungan
dalam sebuah masyarakat sehingga dapat menjamin kewujudan, kestabilan, keamanan
dan kesejahteraan di dalam masyarakat tersebut. Keruntuhan nilai akhlak tasawuf
di dalam sesebuah masyarakat bukan saja menjadi ancaman kepada kesejahteraan
mental individu dalam masyarakat malah turut kepada kemusnahan kerana
keruntuhan nilai akhlak akan melemahkan setiap sendi sesebuah masyarakat.
Walaupun
demikian, realitas pada suatu masa telah menunjukkan kepada kita tanda-tanda
dan penanda mengenai jurang yang semakin melebar di antara idealisme
kepentingan akhlak tasawuf dalam konteks pembangunan negara dengan kemelut
sosial yang sedang dihidapi di dalam sesebuah masyarakat. Kesadaran dan
kepekaan pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab terhadap kemerosotan nilai
akhlak tasawuf dalam Islam penting untuk terus-menerus melakukan kajian dan
memikirkan jalan keluar bagi masalah ini. Salah satu langkah dan upaya untuk
dilakukan kalangan akademis dan dosen di perguruan tinggi UIN adalah dengan melakukan kajian terhadap
kandungan Al-Qur’an terhadap akhlak tasawuf.
BAB 2 TASAUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM
ISLAM
A.
Tasauf
di Dunia Islam
Dan barangsiapa
yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya (QS. An Nisaa': 4:69).
Ilmu tasawuf
adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar
ma'ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw, tanda-tanda kesufian sudah
ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain
seperti ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu fiqh dan lain sebagainya.
Barulah kira-kira pada tahun 150 H atau abad ke-8 M ilmu tasawuf ini berdiri
sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat keruhanian. Kontribusi tasawuf
ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan
al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan
ibn Sa'id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl
at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris,
as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga
kini terus berkembang.
Dari semula, di
dunia Islam telah ada kecenderungan-kecenderungan yang dikenal dengan sebutan
tasawuf, dan dari abad IV/X sampai VII/XIV bahkan pernah menjadi ajaran yang
dominan di negara Iran dan Turki. Saat ini dibelahan dunia Islam terdapat
berbagai sekte sufi yang menunjukkan kecenderungan serupa pada masa awal
kelahirannya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sejarah, wajar jika timbul
pertanyaan apakah tasawuf memang terdapat dalam ajaran Islam ataukah diambil
dari ajaran agama lain, sehingga apa yang disebut tasawuf di kalangan umat
Islam bukanlah tasawuf Islam sejati?
Dalam
menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian kalangan menyangkal
mutlak keberadaan tasawuf dalam ajaran Islam
dan menganggapnya sebagai penyimpangan yang harus ditolak. Kalangan lain
berpendapat bahwa tasawuf berasal dari luar konteks Islam. Sejalan dengan
pendapat ini, ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah bid’ah yang
bisa diterima dalam Islam, sebagaimana kerahiban (kehidupan pastoral) dalam
ajaran Kristiani.
Harun Nasution
mempunyai penjelasan yang lebih cenderung mengelaborasi sumber tasawuf bukan
berasal dari tradisi Islam. Ada beberapa argumen Harun Nasution
terhadap pendapatnya mengenai asal-usul tasawuf :
a. Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi
dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab
memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri
di padangPasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi
petunjuk bagi jalan kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi
tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi
tempat memperoleh makan bagi musafir yangkelaparan…dikatakan bahwa zahid dan
sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri,
adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
b. Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat
bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan
jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di
alam samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus
membersihkan roh, meninggalkan hidup materi, yaitu zuhd, untuk
selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan
pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat sebagian orang, yang mempengaruhi
timbulnyazuhd dan sufisme dalam Islam.
c. Filsafat emanasi plotinus yang mengatakan
bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepada Tuhan.Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi
kotor, dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dulu dibersihkan.
Pencucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan
sedekat-dekatnya, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatkan pula bahwa filsafat
ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.
d. Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk
mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup
kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham
nirwana.
e. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga
mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk
mencapai persatuan Atman dengan Brahman.
Pandangan yang dikutip di atas tentu tidak
sepenuhnya dapat diterima. Meski ada aspek-aspek yang sama,
apakah karena ada kesamaan, lantas tasawuf dalam Islam bisa
disimpulkan berasal dari ajaran agama lain? Dengan pertanyaan lain, apakah
karena ada kemiripan, atau pengaruh dari eskatisme Kristen lalu dengan begitu
dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran agama
Kristen?
Dengan begitu, maka kesimpulan akhirnya adalah
apa yang disebut tasawuf bukanlah ajaran Islam yang sejati, melainkan rembesan
atau hasil pengaruh agama lain disebabkan oleh yang satu mempengaruhi yang lain
dan menuduh yang kena pengaruh tidak orisinal. Dalam menanggapi beberapa
pertanyaan di atas, sebagian kalangan memang ada yang mendukung bahwa
ajaran tasawuf dalam Islam bersumber dari luar. Namun, para sarjana
modern telah banyak meneliti dan mengkaji tentang asal-usul sufisme dan
menemukan bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang lahir dari al-Qur’an dan
sunnah. Kesamaan seperti itu bisa juga ditemukan dalam hukum-hukum syari’at
dalam Islam dan dalam agama-agama Samawi lainnya. Ini juga bukan berarti bahwa
hukum agama yang belakangan muncul diambil dari hukum agama yang sebelumnya. Murtahada
Muthahhari dan Fazlur Rahman menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf
bukan berasal dari tradisi Islam, melainkan adopsi dan adaptasi dari ajaran
teologi Kristen dan filsafat Barat. Tasawuf justru adalah “jantung” Islam itu
sendiri. Begitu juga menurut Hamka sebagaimana dalam bukunya yang telah dikutip
di atas, secara khusus permulaan timbulnya kerohanian sebagai asal-usul tasawuf
dalam Islam dimulai dengan perikehidupan Nabi Muhammad sendiri. Mengenai hal
itu Hamka menjelaskan bahwa jika diperhatikan, tatkala Nabi Muhammad
menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan ciptaan, lalu kita
perbandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan ‘Abid, yaitu ahli tasawuf
yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah kita melihat persamaan mereka
dengan kehidupan nabi. Dan dapatlah kita menyesuaikan jalan yang kita
tempuh dengan latihan dan perjuangannya dan perasaan
yang memenuhi jiwanya kepada hidup kerohanian yang suci, terlepas dari
segala pengaruh yang telah dimulai nabi Muhammad. Kemana jua pun mereka
menoleh, tersimbah dihadapan mereka tirai kebenaran. Mereka mendapatkan
kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apa pun, yaitu kekayaan ma’rifat,
kekayaan kenal akan Tuhan.
B.
Perjalanan
Menuju Tasawuf
Tasawuf dalam
Islam terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan pemeliharaan dan
pembersihan jiwa. Berhias dengan budi yang luhur lagi sempurna. Dalam bahasa
istilah disebut Ilmu Mu'amalah. Pada bagian ini menjadi titik pusat
akhlak dan ilmu ruhani, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa,
orang-orang sufi adalah guru besar ilmu ruhani di dunia ini, Mereka benar-benar
memahami dan mendalami penyakit ruhani serta pemusnahnya, sehingga berhasil menyingkap
hijab (tabir) penutup ruhani. Kedua, berkaitan dengan penggemblengan ruhani,
ibadah dan mahabbah (cinta), beserta segala aktifitasa yang ada dalam ibadah
dan mahabbah. Yaitu pribadi yang bersih bersinar, munculnya ilham dan anugerah
ilahi. Dalam meneliti bagian kedua ini ada beberapa syarat. Syarat utama ialah
mendalami al-Quran dan as-Sunnah. Ia disebut thariq (jalan) dan
terdiri dari empat perjalanan (stations). Pertama, perjalanan gerak (amaliah)
lahir, yaitu perjalanan ibadah dan berpaling dari gemerlap dunia. Membersihkan
diri dari daya tarik dunia. Menyendiri (uzlah) untuk beribadah, dzikir dan
istighfar serta selalu melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, perjalanan amaliah batin dan senantiasa menelitinya, dengan memurnikan
akhlak, menyucikan hati, menyucikan ruh, mengintai dan menekan nafsu, berhias
dengan akhlak dan sifat-sifat yang suci serta perilaku yang senantiasa memancar
dari Nur Muhammad. Ketiga, perjalanan penggemblengan dan training jiwa.
Dengan ujian
yang akbar ini, kekuatan dan kekuasaan ruh akan semakin bertambah. Jiwa lalu
memisah dari debu-debu, menjadikannya bersih murni, hingga hakikat dan rahasia
alam terpateri di dalamnya. Cahaya Ilahi memancar di dalam hatinya. Nampak
keindahan dan kebesaran alam, kehalusan dan rahasianya. Dengan demikian
bangkitlah rasa, yang kemudian membentuk gerak hidup dalam indera yang umum,
yang dapat merasakan kelezatan yang tinggi. Ilmu yang cemerlang di dalam jiwa
ini lalu menjadi sifat yang tetap, berikut terbukanya tabir penutup secara
sedikit demi sedikit sehingga sampailah keoada ridha dan cahaya utama.
Keempat,
perjalanan menuju fana yang sempurna. Yaitu dengan sampainya ruh kepada tingkat
menyaksikan Allah dengan sebenarnya. Terbuka (kasyaf)nya alam yang samar dan
rahasia-rahasia Allah. Kemudian silih berganti muncul cahaya dan terbukanya
tabir, hingga kelezatan jiwa dengan ketenteraman. Puncaknya adalah bayangan
suci di hadapan Ilahi. Perjalanan-perjalanan spiritual itu tidak dapat di tulis
atau diceritakan, karena berada di luar bayangan dan fantasi manusia, di alam
mana Allah SWT Maha Agung dan tercinta dapat dilihat mata hati. Benar-benar
pemandangan yang di luar kerja mata wadak. Tiada pernah didengar oleh telinga
dan tidak sekalipun terbersit di dalam sanubari. Perjalanan ini merupakan
perjalanan yang sangat berbahaya. Pernah seorang sufi kehilangan
keseimbangannya, kehilangan ingatan, dan akhirnya terjerumus kepada kondisi
yang memang sudah menjadi suratan takdir. Adapun bagi mereka yang telah sampai
dan berhasil bertahan di sana. Sungguh dia telah memperoleh kemantapan
beribadah, penyaksian yang luhur, kenyenyakan yang melelapkan jiwa, tenteram
dan menguasai alam. Dalam sejarahnya, penafsiran kaum sufi atas Sunnah dan
Al-Quran selalu memunculkan kontroversi, di mana sebagian ulama (fuqaha') dan
penguasa, pada waktu itu, menganggap pandangan-pandangan mistik mereka telah
menyebabkan kerancuan (tahafut) dan kebingungan di kalangan umat Islam, dan
karenanya harus segera dienyahkan. Namun terdapat banyak ajaran akhlak tasawuf
yang menekankan akhlak yang mulia di sisi Allah dalam al-Qur’an. Tentang akhlak
tasawuf dalam Al-Qur’an disebutkan: Artinya: “Sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal shaleh maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”
(QS. At.Tin: 4-6).
Berangkat dari
pernyataan Al-Qur’an seperti itu, kami mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an
terdapat ajaran tentang tasawuf berdimensi akhlak atau akhlak tasawuf. Islam
adalah agama pembenaran bagi segenap tindakan "hikmah" atau
moralitas. Kehadiran buku-buku akhlak tasawuf belakangan ini ingin menunjukkan
sesuatu yang kurang diperhatikan dan bahkan diabaikan dalam perbincangan
tentang Islam akhir-akhir ini di Indonesia. Maraknya sejumlah aksi
intimidasi, pemaksaan, kekerasan yang membawa nama Islam, mengukuhkan kenyataan
bahwa etika dan moralitas sudah terlepas jauh dari pengalaman keagamaan umat
Islam.
C.
Kandungan
Akhlak Tasawuf dalam Al-Qur’an
Al-Ghazali
memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam
jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih
dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki
korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan
baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu,
keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung
kepada kekejian.
Menurut
al-Ghazali, ada dua cara dalam mendidik akhlak,
yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal
shaleh. Kedua perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain
itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan
sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan
lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim)
tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga
dengan ladunniah.
Kedua, akhlak
tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri
kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya,
akhlak berubah dengan pendidikan latihan. Dalam menguraikan fungsi al-Quran
sebagai asas perlembagaan akhlak, Muhammad Abdullah Darraz (1973) telah
menggariskan nilai-nilai akhlak yang dipetik dari al-Quran dan membahagikannya
kepada lima kategori yaitu; nilai akhlak peribadi, nilai akhlak
kekeluargaan, nilai akhlak kemasyarakatan, nilai akhlak kenegaraan dan nilai
akhlak keagamaan.
Dalam pembagian
itu al-Ghazali mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria
akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan
marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan
nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan). Keempat komponen itu
merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak.
Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat
dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat
juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah ‘tiada diutus kecuali
uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi).
Dengan
meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak,
al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini terbukti dengan
pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan
mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh
ilmu, juga oleh faktor lainnya. Sementara untuk pembagian akhlak baik dan
buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak
menjadi yang baik atau mahmudah danmadzmumah atau
buruk. Dalam Ihya' al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu
ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang
menyelamatkan(munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak
bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta
riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur,
keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
Bila ditinjau
pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan
akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf
disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan
pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti
keihklasan.
Ia telah
membagi akhlak Islam yang bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah kepada sembilan
kategori utama, yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap Rasul, akhlak
terhadap Al-Quran, akhlak terhadap peribadi (diri), akhlak kedua orang tua,
akhlak terhadap anak, akhlak dalam rumahtangga, akhlak terhadap sesama manusia
dan akhlak terhadap lingkungan hidup. Setiap kategori utama pula dipecahkan
kepada beberapa subkategori yang berkaitan bersandarkan nas-nas dari Al-Quran
dan Hadits Rasulullah SAW.
Jika diteliti kepada konstruk akhlak Al-Quran dan al-Sunnah, maka
dapat dirumuskan bahawa akhlak Islam merangkumi beberapa dimensi psikologis,
yaitu sikap, sifat, tingkah laku dan amalan secara langsung seperti keimanan
kepada Allah dan Rasul (sikap), rela dengan ujian Allah (sifat), berdoa dengan
penuh ketakutan dan mengharap (tingkah laku) dan melakukan salat fardu lima
waktu sehari semalam (amalan secara langsung). Rumusan ini bersesuaian dengan
konsep akhlak seperti yang dinyatakan oleh beberapa tokoh akhlak Islam seperti
Imam al-Ghazali.
Tasawuf dan
akhlak adalah dua perkara yang tidak dapat dipisahkan di antara satu sama lain
(Darraz, 1973; Al-Attas, 1978; Syed Ali Ashraf, 1990; Mohd Sulaiman Yasin,
1992; Bello, 2001). Syed Ali Ashraf (1990) menegaskan bahawa seseorang tidak
boleh menjadi seorang yang bertaqwa tetapi tidak berakhlak pada masa yang sama.
Secara asasnya, sumber-sumber utama bagi akhlak Islam itu diambil dari dua asas
utama Islam itu sendiri iaitu al-Quran dan al-Sunnah (Abdul Haq Ansari, 1989;
Majid Fakhry, 1991; Zakaria, 1999b; Ab. Halim & Zarin, 2002; Jamiah Abd
Manap et al, 2004).
Walaupun
demikian, menurut Profesor Abdul Haq Ansari (1989), satu lagi sumber yang harus
diambil sebagai sumber akhlak ialah amalan para sahabat kerana mereka adalah
golongan yang dilatih sendiri oleh Rasulullah SAW , kehidupan mereka penuh
dengan nilai Islam dengan mencontohi Rasulullah SAW serta telah diiktiraf oleh
baginda sebagai golongan terbaik. Mohd Sulaiman Yasin (1992) pula menjelaskan
bahawa nilai-nilai akhlak yang ada pada sesebuah masyarakat itu adalah warisan
dan peninggalan yang dipercontohkan dan dihidupkan oleh tokoh-tokoh dan
pejuang-pejuang akhlak yang dipelopori oleh para nabi dan rasul.
Syed Ali Ashraf
(1990) pula merumuskan bahawa adab merupakan suatu sistem model tentang
bagaimana manusia melaksanakan kehendak ketuhanan di dalam kehidupan seperti
yang diteladani oleh Rasulullah SAW dari pengajaran-pengajaran yang termaktub
di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Oleh kerana itu, menurut beliau, pendidikan
dijelaskan sebagai proses membudayakan adab dan latihan kesedaran akhlak bersumberkan
pembelajaran al-Quran dan al-Sunnah sekaligus mendidik manusia untuk
melaksanakannya di dalam kehidupan individu dan sosial
D.
Tarekat
Rabi’ah
al-Adawiyah serta al-Ghazali mengungkapkan bahwa tujuan utama yang menjadi
pusat ideal orang-orang yang menjalankan laku mistik atau tasawuf adalah
mendapatkan penghayatan ma’rifat langsung pada zat Allah atau Zat mutlaq. Para
sufi lebih sering menamakan Zat allah sebagai Al-haqq atau haqiqah yang zat
yang nyata (the Reality) yakni realitas mutlak yang bisa dihayatinya.
Hanya saja mata manusia menurut al-Ghazali tidak akan bisa menangkap cahaya
Tuhan lantaran terlalu terang tidak sesuia dengan kemampuan mata kelelawar.
Maka yang bisa menangkap dan menghayati zat Tuhan dan alam ghaib adalah kalbu
(mata hati) yakni jiwa manusia.
Inti sari
yang menjadi pusat dalam ajaran tasawuf adalah penghayatan kasyaf, yaitu
penghayatan ecstasy atau istilah tasawufnya fana’ dan ma’rifat. Ecstasy
atau fana’ dan ma’rifat adalah pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu jalan yang
harus ditempuhnya adalah meditasi konsentrasi di dalam zikir pada Allah. Dalam
tasawufnya jalan menuju Tuhan dinamakan thariqah, kata inggrisnya the path.
Para sufi yang
sedang rindu mengembara mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara
(salik mufasir) mereka melangkahkan aju dari satu tingkat ketingkat
atasnya. Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka memakan
maqamat atau stations atau stages. Jalan yang mereka tempuh dinamakan thariqah.
Sedang tujuan akhirnya adalah mencapai penghayatan fana’ fillah (al-fana’
fi’il haqqi) yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudra ilahi. Tarekat
atau jalan tasawuf ini begitu ini begitu penting hingga ilmu tasawuf itu sering
dinamakan ilmu suluk. 3 (tiga) langkah menuju jalan allah menurut al Ghaali:
Penyucian hati (via purgative)
Penyucian hati
sebagai langkah pertama tarekat, terdiri atas dua bagian yaitu mawas diri dan
penguasaan serta pengendalian nafsu-nafsu. Bagian kedua baru membersihkan hati
dari ikatan pengaruh keduniaan pensucian hati terhadap setiap ikatan keduniaan
berarti pembinaan budi luhur karena memperebutkan keduniaan adalah sumber
kericuhan dan kejahatan dan pangkal perhambatan nafsu-nafsu yang tercela.
Mawas diri
dalam tasawuf adalah mawas diri yang ditujukan bagi kepentingan oleh batin
dan penghayatan mistis. Mawas diri bagi kepentingan sufisme ditujukan
untuk p;engenalan dan penguasaan kemampuan batin. Salah satu yang khas dalam
setiap ajaran mistik seperti ditengahkan al-Ghazali diatas, adalah kepercayaan
bahwa hati itu mempunyai fungsi rohani yang amat vital bagi kehidupan dan
penghayatan mistis. Yakni laksana cermin rohani untuk menangkap sinar Tuhan dan
alam ghaib, sebagai mengenal zat Tuhan dan menguasai ilmu ghaib (okultis)
adalah dengan kalbu (hati) dan bukan yang mata atau akal.
Yang dimaksud dengan hati atau kalbu didalam tasawuf bukan
kalbu jasmaniyah, akan tetapi fungsi rohani dari pada kalbua yakni: kalbu
adalah zat rohani yang halus yang bukan kebendaan penangkap hakikat sesuatu dan
terpantul diatasnya laksana terpantulnya gambar-gambar diatas cermin.
BAB 3 PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbicara
akhlak memang sangat sulit, karena akhlak dipandang sebagai suatu implementasi
nilai-nilai Al-Qur’an. Zakiah Darajat berpendapat jika kita ambil ajaran agama,
maka akhlak adalah sanagt penting, bahkan yang tepenting, dimana kejujuran,
kebenaran, keadilan, dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting
dalam agama. Bagaimana kita menyikapi akhlak
kaum muda kita sekarang ini, itu tergantung siapa yang memandang dan dari sisi
mana dia memandang.
Yang dapat kita
lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas akhlak adalah pendidikan pembentukan
akhlak yang baik harus dilakukan dengan kompak dan usaha yang sungguh-sungguh
dari semua aspek kehidupan serta mampu menggunakan seluruh kesempatan, berbagai
sarana termasuk teknologi modern. Disamping itu kita sebagai calon-calon tenaga
pendidik, harus mampu mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Jadi
tidak hanya transfer pengetahuan(transfer of knowledge), ketrampilan dan pengalaman
yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan ketrampilan tetapi juga
mampu membentuk kepribadian dan pola hidup berdasarkan nilai-nilai yang luhur.
Sebagai akhir
dari makalah ini, maka kita semua barharap bahwa nantinya semua orang akan
mempunyai akhlak yang mulia sehingga tercapai kehidupan yang layak, baik di
dunia dan di akhirat. Dan ingatlah pesan dari Lukmanul Hakim yang telah
tertulis dalam Al-Qur’an sebagai perwujudan akhlak yang mulia.
Daftar Pustaka
Hamka.Dr.Prof.1961.Tasauf Moderen. Jakarta:Yayasan Nurul Islam
TASAWWUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM
ISLAM(Koreksi terhadap buku Tasawwuf Dr Simuh)Oleh: Sudarso
SEJARAH TASAWUF TINJAUAN TERHADAP
BUKU INTELEKTUALISME TASAWUF
Karangan Prof. Dr. H. M. Amin
Syukur, MA dan Drs. H. Masyharuddin, MA
Tasawuf Akhlaqi Menurut Al-Qur’an
Sebuah Tafsir Sufistik
Penolakan tasawuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar