Sabtu, 04 Mei 2013

TASAUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM ISLAM


MAKALAH
TASAUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM ISLAM




OLEH :
SAYYIDINA ABDUL FATTAH RA
HERU SIANDRA
DWI PAKSI
KELOMPOK 3 AGAMA 4 B
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN SUSKA RIAU 2013



DAFTAR ISI
Daftar Isi                     . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .           . . . . . .. . . . . ..  . .. . . . . . . . 1
Kata Pengantar                                                                                               . . . . .. . . . . .2
BAB 1 PENDAHULUAN
Pengertian Tasawuf                          . . . .    . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . 3
BAB 2 TASAUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM ISLAM
A. Tasawuf di Dunia Islam                                   . . . . . . . . . . . . . .  . . . . . . . . . . 6
B. Perjalanan menuju tasauf                                 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
C. Kandungan Akhlak Tasawuf dalam Al-Qur’an              . . . . . . . . . . . . . . . . . .9
D. Tarekat       . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .  .  .11
BAB 3 PENUTUP
Kesimpulan           . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
DAFTAR PUSTAKA     










KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur kita panjatkan pada Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat kapada kami sehingga dengan tepat waktu dan sesuai rencana makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana yang di harapakan.
Makalah yang berjudul “Sumber-sumber hukum Islam” ini di buat berdasarkan dari berbagai referensi, baik itu media cetak maupun elektronik. Sebaimana tujuan awalnya yaitu sebagai sumber pembelajaran dalam sub bab mata kuliah Agama 4.
Ucapan  Trimakasih kami sampaikan  pada Dosen pengampu Bpk. Syarifuddin, selaku dosen mata kuliah Agama 4 B serta kepada semua pihak yang telah mendukung terselesainya makalah kami ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan juga dapat di jadikan referensi tentang sumber-sumber hukum islam. Kami juga sangat mengaharapkan saran dan kritikan yang membangun dari para pembaca sebagai koreksi bagi kami agar lebih baik lagi.



Penulis






BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Pengertian Tasauf
Arti tasawuf dan asl katanya menjadi pertikaian ahli logat. Setengahnya berata bahwa kata itu diambil dari perkataan shifa’, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Kata setengah nya berasal dari kata “shuf” artinya bulu binatang, karena benci mereka kepada pakaian yang indah. Dan setengahnya diambil dari kaum “shuffah”, ialah sebuah segolongan sahabat-sahabat nabi yang menyisihkan dirinya ke suatu tempat terpencil disamping mesjid nabi. Kata setengahnya lagi dari perkataan “shuffanah” yang berati sebangsa kayu yang kering yang tumbuh dipadang pasir tanah arab. Tetapi setengah ahli bahsa dan riwayat mengatakan bahwa kata “shufi” bukanlah bahasa arab melainkan bahasa yunani lama yang telah diarabkan. Asalnya “theosofie” (ilmu ketuhanan), sehingga dicucapkan lidah orang arab dengan “tasawuf”.
Darimanapun asal pengambilan kata itu, yang pasti bahwa yang dikatakan “tasawuf” atau kaum “shufi” adalah kaum yang telah menyusun kumpulan menyisihkan diri masyarakat, dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat-kaca terhadap Tuhan, yang memakai pakaian sedehana yang berbeda dengan orang pada umumnya. Hingga dirinya kurus kering bagaikan kayu dipadang pasir, untuk memperdalam tentang penyelidikan hubungan makhluk kepada sang khaliknya.
Jika dinegara kita, juga terdapat hal yang sama yaitu tarikat. Ada beberapa macam tarikat yaitu tarikat naqsyabandiyah, syaziliyah, samaniyah. Masing-masing tarikat ini mempunyai aturan masing-masing yang berbeda dengan yang lainnya. Maka dapat kita simpulkan bahwa tasawuf tidaklah memiliki peraturan tetap atau yang tidak bisa diubah-ubah. Artinya tasawuf juga mengalami perubahan dan kemajuan sesuai kemajuan zaman. Yaitu merupakan semacam filasafat yang telah timbul sjak zaman nabi dan mengalami berbagai perubahan sesuai keadaan negeri yang mereka tempati.

Tasawuf adalah salah satu filsafat islam yang bermaksud untuk zuhud dari dunia yang fana. Akan tetapi karena banyaknya pengaruh dari bangsa lain, maka masuk juga pengajian agama dari bangsa lain itu kedalamnya. Hal itu disebabkan karena tasawuf bukanlah agama melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya melenceng dari agama islam. Hal melenceng itu dikarenakan masuknya pengaruh dari agama dan kepercayaan lain.

 Akhlak tasawuf adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak tasawuf bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "hal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah. Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan tasawuf sebagai dua dimensi yang tak mungkin terpisahkan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Al-Ghazali membagi akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik sesuai pesan Al-Qur’an adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'.

Salah satu di antara khazanah tradisi dan warisan keilmuan tradisional Islam yang sangat berharga adalah tasawuf. Dalam Al-Qur’an memang tidak terdapat satu kata pun tentang “tasawuf”, namun seperti akan diuraikan dalam tulisan ini, dalam Al-Qur’an terdapat pesan-pesan dan kandungan nilai-nilai tasawuf, tertutama tasawuf akhlak atau akhlak tasawuf.

Tasawuf merupakan suatu konsepsi pengetahuan yang menekankan nilai batin sebagai metode bagi tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia.  Karena berhubungan dengan dimensi spiritual, tasawuf lebih mengupas segi-segi kehidupan manusia yang bersifat esoteris dan batiniah, yang menyangkut persepsi hati dan realitas ketuhanan yang suci dan Absolut (Mutlak tak ada yang menyamai-Nya). Pada awal pemunculannya, tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan (sunah) Nabi Muhammad saw, yang sarat dengan dimensi spiritualitas. Tokoh-tokoh sufi generasi awal banyak mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa kenabian yang mereka yakini sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk mencapai Tuhan. Selain itu, mereka juga menafsirkan kandungan ayat-ayat Alquran secara simbolis, sehingga pemahaman atas realitas keTuhanan menjadi lebih menyeluruh.

Kepentingan akhlak sebagai suatu gagasan bagi menjamin pembangunan negara yang mampan dan seimbang dinyatakan dengan jelas sebagai salah satu di antara cabaran Wawasan 2020 yaitu untuk mewujudkan masyarakat bermoral dan beretika sepenuhnya, yang rakyatnya kuat beragama dan nilai kerohanian serta disemai dengan nilai etika paling tinggi. Dalam konteks pembangunan ekonomi dan politik di dalam sebuah negara, pembinaan akhlak tasawuf versi Al-Qur’an dalam bentuk pembangunan manusia yang seimbang akan menjamin pembangunan ekonomi yang mampan serta kekuatan politik yang akan menjamin kelangsungan dan kecemerlangan bangsa.  

Dalam konteks sosial, akhlak tasawuf dapat menjadi sendi yang mengikat kukuh bagi hubungan dalam sebuah masyarakat sehingga dapat menjamin kewujudan, kestabilan, keamanan dan kesejahteraan di dalam masyarakat tersebut. Keruntuhan nilai akhlak tasawuf di dalam sesebuah masyarakat bukan saja menjadi ancaman kepada kesejahteraan mental individu dalam masyarakat malah turut kepada kemusnahan kerana keruntuhan nilai akhlak akan melemahkan setiap sendi sesebuah masyarakat. 

Walaupun demikian, realitas pada suatu masa telah menunjukkan kepada kita tanda-tanda dan penanda mengenai jurang yang semakin melebar di antara idealisme kepentingan akhlak tasawuf dalam konteks pembangunan negara dengan kemelut sosial yang sedang dihidapi di dalam sesebuah masyarakat. Kesadaran dan kepekaan pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab terhadap kemerosotan nilai akhlak tasawuf dalam Islam penting untuk terus-menerus melakukan kajian dan memikirkan jalan keluar bagi masalah ini. Salah satu langkah dan upaya untuk dilakukan kalangan akademis dan dosen di perguruan tinggi UIN  adalah dengan melakukan kajian terhadap kandungan Al-Qur’an terhadap akhlak tasawuf.








































BAB 2 TASAUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM ISLAM

A.    Tasauf di Dunia Islam

Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS. An Nisaa': 4:69).

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma'ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw, tanda-tanda kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu fiqh dan lain sebagainya. Barulah kira-kira pada tahun 150 H atau abad ke-8 M ilmu tasawuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat keruhanian. Kontribusi tasawuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.

Dari semula, di dunia Islam telah ada kecenderungan-kecenderungan yang dikenal dengan sebutan tasawuf, dan dari abad IV/X sampai VII/XIV bahkan pernah menjadi ajaran yang dominan di negara Iran dan Turki. Saat ini dibelahan dunia Islam terdapat berbagai sekte sufi yang menunjukkan kecenderungan serupa pada masa awal kelahirannya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sejarah, wajar jika timbul pertanyaan apakah tasawuf memang terdapat dalam ajaran Islam ataukah diambil dari ajaran agama lain, sehingga apa yang disebut tasawuf di kalangan umat Islam bukanlah tasawuf Islam sejati?

Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian kalangan menyangkal  mutlak  keberadaan  tasawuf  dalam  ajaran Islam  dan  menganggapnya sebagai penyimpangan yang harus ditolak. Kalangan lain berpendapat bahwa tasawuf berasal dari luar konteks Islam. Sejalan dengan pendapat ini, ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah bid’ah yang bisa diterima dalam Islam, sebagaimana kerahiban (kehidupan pastoral) dalam ajaran Kristiani.

Harun Nasution mempunyai penjelasan yang lebih cenderung mengelaborasi sumber tasawuf bukan berasal dari tradisi Islam. Ada beberapa argumen Harun Nasution terhadap pendapatnya mengenai asal-usul tasawuf :

a.    Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padangPasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk bagi jalan kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yangkelaparan…dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
b.   Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi, yaitu zuhd, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnyazuhd dan sufisme dalam Islam.
c.    Filsafat emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dulu dibersihkan. Pencucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat-dekatnya, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatkan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.
d.   Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
e.    Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.

    Pandangan yang dikutip di atas tentu tidak sepenuhnya dapat diterima. Meski ada  aspek-aspek  yang  sama, apakah  karena ada  kesamaan, lantas  tasawuf dalam Islam bisa disimpulkan berasal dari ajaran agama lain? Dengan pertanyaan lain, apakah karena ada kemiripan, atau pengaruh dari eskatisme Kristen lalu dengan begitu dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran agama Kristen? 

    Dengan begitu, maka kesimpulan akhirnya adalah apa yang disebut tasawuf bukanlah ajaran Islam yang sejati, melainkan rembesan atau hasil pengaruh agama lain disebabkan oleh yang satu mempengaruhi yang lain dan menuduh yang kena pengaruh tidak orisinal. Dalam menanggapi beberapa pertanyaan di atas, sebagian kalangan memang ada  yang mendukung bahwa ajaran tasawuf dalam  Islam bersumber  dari luar. Namun, para sarjana modern telah banyak meneliti dan mengkaji tentang asal-usul sufisme dan menemukan bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang lahir dari al-Qur’an dan sunnah. Kesamaan seperti itu bisa juga ditemukan dalam hukum-hukum syari’at dalam Islam dan dalam agama-agama Samawi lainnya. Ini juga bukan berarti bahwa hukum agama yang belakangan muncul diambil dari hukum agama yang sebelumnya. Murtahada Muthahhari dan Fazlur Rahman menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari tradisi Islam, melainkan adopsi dan adaptasi dari ajaran teologi Kristen dan filsafat Barat. Tasawuf justru adalah “jantung” Islam itu sendiri. Begitu juga menurut Hamka sebagaimana dalam bukunya yang telah dikutip di atas, secara khusus permulaan timbulnya kerohanian sebagai asal-usul tasawuf dalam Islam dimulai dengan perikehidupan Nabi Muhammad sendiri. Mengenai hal itu Hamka menjelaskan bahwa jika diperhatikan, tatkala Nabi Muhammad menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan ciptaan, lalu kita perbandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan ‘Abid, yaitu ahli tasawuf yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah kita melihat persamaan mereka dengan kehidupan nabi. Dan dapatlah kita menyesuaikan jalan yang kita tempuh dengan latihan  dan  perjuangannya  dan  perasaan yang memenuhi jiwanya kepada hidup kerohanian yang suci, terlepas dari segala pengaruh yang telah dimulai nabi Muhammad. Kemana jua pun mereka menoleh, tersimbah dihadapan mereka tirai kebenaran. Mereka mendapatkan kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apa pun, yaitu kekayaan ma’rifat, kekayaan kenal akan Tuhan.

B.     Perjalanan Menuju Tasawuf

Tasawuf dalam Islam terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan pemeliharaan dan pembersihan jiwa. Berhias dengan budi yang luhur lagi sempurna. Dalam bahasa istilah disebut Ilmu Mu'amalah.  Pada bagian ini menjadi titik pusat akhlak dan ilmu ruhani, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, orang-orang sufi adalah guru besar ilmu ruhani di dunia ini, Mereka benar-benar memahami dan mendalami penyakit ruhani serta pemusnahnya, sehingga berhasil menyingkap hijab (tabir) penutup ruhani. Kedua, berkaitan dengan penggemblengan ruhani, ibadah dan mahabbah (cinta), beserta segala aktifitasa yang ada dalam ibadah dan mahabbah. Yaitu pribadi yang bersih bersinar, munculnya ilham dan anugerah ilahi. Dalam meneliti bagian kedua ini ada beberapa syarat. Syarat utama ialah mendalami al-Quran dan as-Sunnah. Ia disebut thariq (jalan) dan terdiri dari empat perjalanan (stations). Pertama, perjalanan gerak (amaliah) lahir, yaitu perjalanan ibadah dan berpaling dari gemerlap dunia. Membersihkan diri dari daya tarik dunia. Menyendiri (uzlah) untuk beribadah, dzikir dan istighfar serta selalu melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, perjalanan amaliah batin dan senantiasa menelitinya, dengan memurnikan akhlak, menyucikan hati, menyucikan ruh, mengintai dan menekan nafsu, berhias dengan akhlak dan sifat-sifat yang suci serta perilaku yang senantiasa memancar dari Nur Muhammad. Ketiga, perjalanan penggemblengan dan training jiwa.

Dengan ujian yang akbar ini, kekuatan dan kekuasaan ruh akan semakin bertambah. Jiwa lalu memisah dari debu-debu, menjadikannya bersih murni, hingga hakikat dan rahasia alam terpateri di dalamnya. Cahaya Ilahi memancar di dalam hatinya. Nampak keindahan dan kebesaran alam, kehalusan dan rahasianya. Dengan demikian bangkitlah rasa, yang kemudian membentuk gerak hidup dalam indera yang umum, yang dapat merasakan kelezatan yang tinggi. Ilmu yang cemerlang di dalam jiwa ini lalu menjadi sifat yang tetap, berikut terbukanya tabir penutup secara sedikit demi sedikit sehingga sampailah keoada ridha dan cahaya utama.

Keempat, perjalanan menuju fana yang sempurna. Yaitu dengan sampainya ruh kepada tingkat menyaksikan Allah dengan sebenarnya. Terbuka (kasyaf)nya alam yang samar dan rahasia-rahasia Allah. Kemudian silih berganti muncul cahaya dan terbukanya tabir, hingga kelezatan jiwa dengan ketenteraman. Puncaknya adalah bayangan suci di hadapan Ilahi. Perjalanan-perjalanan spiritual itu tidak dapat di tulis atau diceritakan, karena berada di luar bayangan dan fantasi manusia, di alam mana Allah SWT Maha Agung dan tercinta dapat dilihat mata hati. Benar-benar pemandangan yang di luar kerja mata wadak. Tiada pernah didengar oleh telinga dan tidak sekalipun terbersit di dalam sanubari. Perjalanan ini merupakan perjalanan yang sangat berbahaya. Pernah seorang sufi kehilangan keseimbangannya, kehilangan ingatan, dan akhirnya terjerumus kepada kondisi yang memang sudah menjadi suratan takdir. Adapun bagi mereka yang telah sampai dan berhasil bertahan di sana. Sungguh dia telah memperoleh kemantapan beribadah, penyaksian yang luhur, kenyenyakan yang melelapkan jiwa, tenteram dan menguasai alam. Dalam sejarahnya, penafsiran kaum sufi atas Sunnah dan Al-Quran selalu memunculkan kontroversi, di mana sebagian ulama (fuqaha') dan penguasa, pada waktu itu, menganggap pandangan-pandangan mistik mereka telah menyebabkan kerancuan (tahafut) dan kebingungan di kalangan umat Islam, dan karenanya harus segera dienyahkan. Namun terdapat banyak ajaran akhlak tasawuf yang menekankan akhlak yang mulia di sisi Allah dalam al-Qur’an. Tentang akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an disebutkan: Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS. At.Tin: 4-6).

Berangkat dari pernyataan Al-Qur’an seperti itu, kami mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ajaran tentang tasawuf berdimensi akhlak atau akhlak tasawuf. Islam adalah agama pembenaran bagi segenap tindakan "hikmah" atau moralitas. Kehadiran buku-buku akhlak tasawuf belakangan ini ingin menunjukkan sesuatu yang kurang diperhatikan dan bahkan diabaikan dalam perbincangan tentang Islam akhir-akhir ini di Indonesia. Maraknya sejumlah aksi intimidasi, pemaksaan, kekerasan yang membawa nama Islam, mengukuhkan kenyataan bahwa etika dan moralitas sudah terlepas jauh dari pengalaman keagamaan umat Islam.

C.     Kandungan Akhlak Tasawuf dalam Al-Qur’an

Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.

Menurut al-Ghazali, ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.

Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. Dalam menguraikan fungsi al-Quran sebagai asas perlembagaan akhlak, Muhammad Abdullah Darraz (1973) telah menggariskan nilai-nilai akhlak yang dipetik dari al-Quran dan membahagikannya kepada lima kategori yaitu;  nilai akhlak peribadi, nilai akhlak kekeluargaan, nilai akhlak kemasyarakatan, nilai akhlak kenegaraan dan nilai akhlak keagamaan.

Dalam pembagian itu al-Ghazali mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan). Keempat komponen itu merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah ‘tiada diutus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi).

Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya. Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah danmadzmumah atau buruk. Dalam Ihya' al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan(munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.

Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.

Ia telah membagi akhlak Islam yang bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah kepada sembilan kategori utama, yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap Rasul, akhlak terhadap Al-Quran, akhlak terhadap peribadi (diri), akhlak kedua orang tua, akhlak terhadap anak, akhlak dalam rumahtangga, akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan hidup. Setiap kategori utama pula dipecahkan kepada beberapa subkategori yang berkaitan bersandarkan nas-nas dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW.
Jika diteliti kepada konstruk akhlak Al-Quran dan al-Sunnah, maka dapat dirumuskan bahawa akhlak Islam merangkumi beberapa dimensi psikologis, yaitu sikap, sifat, tingkah laku dan amalan secara langsung seperti keimanan kepada Allah dan Rasul (sikap), rela dengan ujian Allah (sifat), berdoa dengan penuh ketakutan dan mengharap (tingkah laku) dan melakukan salat fardu lima waktu sehari semalam (amalan secara langsung). Rumusan ini bersesuaian dengan konsep akhlak seperti yang dinyatakan oleh beberapa tokoh akhlak Islam seperti Imam al-Ghazali.  

Tasawuf dan akhlak adalah dua perkara yang tidak dapat dipisahkan di antara satu sama lain (Darraz, 1973; Al-Attas, 1978; Syed Ali Ashraf, 1990; Mohd Sulaiman Yasin, 1992; Bello, 2001). Syed Ali Ashraf (1990) menegaskan bahawa seseorang tidak boleh menjadi seorang yang bertaqwa tetapi tidak berakhlak pada masa yang sama. Secara asasnya, sumber-sumber utama bagi akhlak Islam itu diambil dari dua asas utama Islam itu sendiri iaitu al-Quran dan al-Sunnah (Abdul Haq Ansari, 1989; Majid Fakhry, 1991; Zakaria, 1999b; Ab. Halim & Zarin, 2002; Jamiah Abd Manap et al, 2004).

Walaupun demikian, menurut Profesor Abdul Haq Ansari (1989), satu lagi sumber yang harus diambil sebagai sumber akhlak ialah amalan para sahabat kerana mereka adalah golongan yang dilatih sendiri oleh Rasulullah SAW , kehidupan mereka penuh dengan nilai Islam dengan mencontohi Rasulullah SAW serta telah diiktiraf oleh baginda sebagai golongan terbaik. Mohd Sulaiman Yasin (1992) pula menjelaskan bahawa nilai-nilai akhlak yang ada pada sesebuah masyarakat itu adalah warisan dan peninggalan yang dipercontohkan dan dihidupkan oleh tokoh-tokoh dan pejuang-pejuang akhlak yang dipelopori oleh para nabi dan rasul.

Syed Ali Ashraf (1990) pula merumuskan bahawa adab merupakan suatu sistem model tentang bagaimana manusia melaksanakan kehendak ketuhanan di dalam kehidupan seperti yang diteladani oleh Rasulullah SAW dari pengajaran-pengajaran yang termaktub di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Oleh kerana itu, menurut beliau, pendidikan dijelaskan sebagai proses membudayakan adab dan latihan kesedaran akhlak bersumberkan pembelajaran al-Quran dan al-Sunnah sekaligus mendidik manusia untuk melaksanakannya di dalam kehidupan individu dan sosial

D.    Tarekat

Rabi’ah al-Adawiyah serta al-Ghazali mengungkapkan bahwa tujuan utama yang menjadi pusat ideal orang-orang yang menjalankan laku mistik atau tasawuf adalah mendapatkan penghayatan ma’rifat langsung pada zat Allah atau Zat mutlaq. Para sufi lebih sering menamakan Zat allah sebagai Al-haqq atau haqiqah yang zat yang nyata (the Reality) yakni realitas mutlak yang bisa dihayatinya. Hanya saja mata manusia menurut al-Ghazali tidak akan bisa menangkap cahaya Tuhan lantaran terlalu terang tidak sesuia dengan kemampuan mata kelelawar. Maka yang bisa menangkap dan menghayati zat Tuhan dan alam ghaib adalah kalbu (mata hati) yakni jiwa manusia.

Inti sari yang menjadi pusat dalam ajaran tasawuf adalah penghayatan kasyaf, yaitu penghayatan ecstasy atau istilah tasawufnya fana’ dan ma’rifat. Ecstasy atau fana’ dan ma’rifat adalah pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu jalan yang harus ditempuhnya adalah meditasi konsentrasi di dalam zikir pada Allah. Dalam tasawufnya jalan menuju Tuhan dinamakan thariqah, kata inggrisnya the path.
Para sufi yang sedang rindu mengembara mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik mufasir) mereka melangkahkan  aju dari satu tingkat ketingkat atasnya. Tingkat-tingkat pendakian rohani atau kejiwaan ini mereka memakan maqamat atau stations atau stages. Jalan yang mereka tempuh dinamakan thariqah. Sedang tujuan akhirnya adalah mencapai penghayatan fana’ fillah (al-fana’ fi’il haqqi) yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudra ilahi. Tarekat atau jalan tasawuf ini begitu ini begitu penting hingga ilmu tasawuf itu sering dinamakan ilmu suluk. 3 (tiga) langkah menuju jalan allah menurut al Ghaali:

Penyucian hati (via purgative)
Penyucian hati sebagai langkah pertama tarekat, terdiri atas dua bagian yaitu mawas diri dan penguasaan serta pengendalian nafsu-nafsu. Bagian kedua baru membersihkan hati dari ikatan pengaruh keduniaan pensucian hati terhadap setiap ikatan keduniaan berarti pembinaan budi luhur karena memperebutkan keduniaan adalah sumber kericuhan dan kejahatan dan pangkal perhambatan nafsu-nafsu yang tercela.

Mawas diri dalam tasawuf adalah mawas diri yang ditujukan bagi kepentingan oleh batin dan penghayatan mistis. Mawas diri bagi kepentingan sufisme ditujukan untuk p;engenalan dan penguasaan kemampuan batin. Salah satu yang khas dalam setiap ajaran mistik seperti ditengahkan al-Ghazali diatas, adalah kepercayaan bahwa hati itu mempunyai fungsi rohani yang amat vital bagi kehidupan dan penghayatan mistis. Yakni laksana cermin rohani untuk menangkap sinar Tuhan dan alam ghaib, sebagai mengenal zat Tuhan dan menguasai ilmu ghaib (okultis) adalah dengan kalbu (hati) dan bukan yang mata atau akal.
Yang dimaksud dengan hati atau kalbu didalam tasawuf bukan kalbu jasmaniyah, akan tetapi fungsi rohani dari pada kalbua yakni: kalbu adalah zat rohani yang halus yang bukan kebendaan penangkap hakikat sesuatu dan terpantul diatasnya laksana terpantulnya gambar-gambar diatas cermin.

















BAB 3 PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berbicara akhlak memang sangat sulit, karena akhlak dipandang sebagai suatu implementasi nilai-nilai Al-Qur’an. Zakiah Darajat berpendapat jika kita ambil ajaran agama, maka akhlak adalah sanagt penting, bahkan yang tepenting, dimana kejujuran, kebenaran, keadilan, dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting dalam agama. Bagaimana kita menyikapi akhlak kaum muda kita sekarang ini, itu tergantung siapa yang memandang dan dari sisi mana dia memandang.

Yang dapat kita lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas akhlak adalah pendidikan pembentukan akhlak yang baik harus dilakukan dengan kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari semua aspek kehidupan serta mampu menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Disamping itu kita sebagai calon-calon tenaga pendidik, harus mampu mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Jadi tidak hanya transfer pengetahuan(transfer of knowledge), ketrampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan ketrampilan tetapi juga mampu membentuk kepribadian dan pola hidup berdasarkan nilai-nilai yang luhur.

Sebagai akhir dari makalah ini, maka kita semua barharap bahwa nantinya semua orang akan mempunyai akhlak yang mulia sehingga tercapai kehidupan yang layak, baik di dunia dan di akhirat. Dan ingatlah pesan dari Lukmanul Hakim yang telah tertulis dalam Al-Qur’an sebagai perwujudan akhlak yang mulia.


















Daftar Pustaka
Hamka.Dr.Prof.1961.Tasauf Moderen. Jakarta:Yayasan Nurul Islam

TASAWWUF DAN PEMUNCULANNYA DALAM ISLAM(Koreksi terhadap buku Tasawwuf  Dr Simuh)Oleh: Sudarso


SEJARAH TASAWUF TINJAUAN TERHADAP BUKU INTELEKTUALISME TASAWUF
Karangan Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, MA dan Drs. H. Masyharuddin, MA

Tasawuf Akhlaqi Menurut Al-Qur’an
Sebuah Tafsir Sufistik

Penolakan tasawuf



Tidak ada komentar:

Posting Komentar