PAHAM
ASY’ARIYAH
A.
SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah
adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama
lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin
Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa
Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan
pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul
Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal
dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq
Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia
belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah
ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari
yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari
Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara
dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber
lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi
beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang
kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang
ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah,
Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah
itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf
dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan
pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia
berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul
Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah,
Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an,
Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam
ahli hadits.
2.
Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode
dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah
akidah.
a. Periode
Pertama
Beliau
hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai
menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an
tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah,
hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau
berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang
selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung
dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari
itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik
balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara
pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah
lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah
(hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah
(berkehendak)
•Al-Qudrah
(berketetapan)
•As-Sama'
(mendengar)
•Al-Bashar
(melihat)
•Al-Kalam
(berbicara)
Sedangkan
sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau
saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau
menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada
periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat
Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan
ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para
periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki,
betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif:
menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil:
menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil:
menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif:
menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini
beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya
beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku,
menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah
Berdirinya Asy’ariyah
Pada
masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan
menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan
rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat
untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari
adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat
ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya
kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar
Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan
hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran
Akidah Asy-'ariyah
Akidah
ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di
kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar
di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat
dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga
didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan
mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan
bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.
B. ISTILAH
ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah
dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu
thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan
para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat
dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh,
"Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya
dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu
perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum.
Dalam
pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya,
as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam
i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah
Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para
Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan
karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini
dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang
menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna
adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus
Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan
tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata
"Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah
dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan
para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari
yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan
dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua,
lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di
mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim,
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan
lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma'.
Kedua
makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan
dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para
shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah
terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu
Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan
tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan
(nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga
hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak
di ambil.
Al-Imam
Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia
menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang
sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian
ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana
bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan
paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak
sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan
Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar
atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau
membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta
munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul
Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari
keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di
kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan
istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij,
Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok)
yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat
radhiyallahu 'anhum.
Dengan
demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan
pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang
memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari
jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam
beberapa pendapat:
1. Jamaah itu
adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk
Islam.
2. Para Imam
Mujtahid
3. Para Shahabat
Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya
kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum
muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat
di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah
adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut
tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini
dan amirnya.
Kedua,
bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida'
(bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut
manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal
Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul
Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena
jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz
jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan
ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka
(para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin
yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan
Ijma').
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan
secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa'
wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir
firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri
dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun
orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan
orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan
Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di
arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah
salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Jadi
kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada
di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di
tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan
penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus
Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para
ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah
ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan
Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan
perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat
Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas,
yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun,
yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang
dianut negara.
Ajaran
yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru
dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari
satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka
Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap
khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes
keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab
ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari.
Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah
banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan
mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah
apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah,
Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya,
antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di
antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat
Tuhan
Pemikiran
Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan
itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya,
bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya,
bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang
Perbuatan Manusia
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan
manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini,
Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa
semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu
sendiri.
3. Tentang
Al-Quran
Pandangan
Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan
bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham
dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang
Kewajiban Tuhan
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa
Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan
dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang
Pelaku Dosa Besar
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin
yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya.
Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua
tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji
Tuhan
Keduanya sepakat
bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang
berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa
Tuhan
Keduanya
sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang
bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan
tidak diartikan secara harfiyah.
-Zubaidi
menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka
itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis
Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal
Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu
Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji
menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang
Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang
berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka
itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Hasan Ayyub
menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur
Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan
di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas
menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri.
Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
Bahwa pemakaian
istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang
terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan
kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa
penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan
dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh
para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.
Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab
Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya,
Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang
didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan
bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus.
Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk
golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut
Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat
Islam.
Jadi, makna
ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah,
Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan
untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam
pemikiran filsafat Islam.
C.
PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun
pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya
ialah:
1. Bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang
mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk.
Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu
qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat
dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan
diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan
Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan
ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme,
yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan
makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak
konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri
seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara
iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan
lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman,
antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah
sebagai berikut.
Arti keadilan,
dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah
tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah
menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah
Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun
tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu
makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak
berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah,
kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan
terjadi kontradiksi.
Ancaman
menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena
Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan
dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun
yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan
dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib
menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk
kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya
apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas
pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh
pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di
antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad
Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran
Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut
al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan
pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan
manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya,
manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara
Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut
Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini
yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme
al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan
(ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai
penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan
seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus,
sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari
yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli
sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan
mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud
di luar zat.
2. Al-Qur’an
bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai
perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat
dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib
memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat
dipikul kepada manusia.
Berkat
Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana
pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para
khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama
masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang
berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para
ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya
antara lain:
•Al-Ghazali
(450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam
Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq
Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu
Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq
Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka
yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran
mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar