MUNAKAHAT
(PERNIKAHAN) DAN PERSOALANNYA
OLEH
HAFIZUR RACHMAN
MUHAMMAD AYUB
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
FAKULTAS SAINS
DAN TEKNOLOGI
TEKNIK
INFORMATIKA
TAHUN AJARAN 2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang
telah memberi rahmat serta karuniaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak dan beberapa sumber lainnya
yang menjadi referensi penulis dalam penyelesaian makalah ini. Penulis
memberi judul makalah ini “Munakahat (Pernikahan) dan Persoalannya”, karena ini
adalah salah satu tugas yang diembankan terhadap penulis. Selain itu, penulis
juga ingin berbagi wawasan terhadap pembaca terhadap pernikahan menurut
syari’at islam.
Semoga makalah ini mampu untuk menjadi salah satu
penambah wawasan kita terhadap ilmu tentang pernikahan berdasarkan islam. Jika
makalah ini ada kesalahan atau ada hal-hal yang kurang terhadap materi yang ada
pada makalah ini, penulis mohon maaf. Kritik dan saran sangat diperlukan untuk
sempurnanya makalah ini.
Pekanbaru, Maret 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ................................................................................................ i
Daftar
Isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar
Belakang ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
2
2.1 Hukum
Munakahat .......................................................................... 2
2.2 Tujuan Dan
Hikmah Munakahat ..................................................... 2
2.3 Peminangan
(Khitbah) Sebelum Pelaksanaan Pernikahan
.............. 3
2.4 Pelaksanaan
Pernikahan (Akad Nikah) ........................................... 8
2.5 Rukun Dan
Syarat Sah Nikah ......................................................... 8
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 11
3.2 Hikmah .......................................................................................... 11
3.3 Saran .............................................................................................. 11
Daftar Pustaka ................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat. Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam). Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Nikah secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenang-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
2.1 Hukum Munakahat
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5
kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
1. Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah
dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
2.
Sunnah,
bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3.
Mubah,
bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan
yang mengharamkan menikah.
4.
Makruh,
bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
5. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak
mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
2.2 Tujuan Dan Hikmah Munakahat
2.2.1
Berdasarkan Tujuan
1. Tujuan
Fisiologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus
dapat menjadi :
a.
Tempat
semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
b.
Tempat
semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan, minum, pakaian yang memadai
dll.
c.
Tempat
suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
2. Tujuan
Psikologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus
dapat menjadi :
a.
Tempat
semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
b.
Tempat
semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
c.
Tempat
semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
d. Basis pembentukan identitas, citra dan
konsep diri para anggota keluarga.
3.
Tujuan Sosiologis,
yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a.
Lingkungan
pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
b. Unit sosial terkecil yang menjembatani
interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai
unit sosial yang lebih besar.
4.
Tujuan Da’wah,
yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a.
Menjadi
obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
b.
Menjadi
prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat
muslim dan nonmuslim.
c.
Setiap
anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
d. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota
keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan
dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula
dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1) Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS.
Ar Ruum : 21).
2)
Sarana
menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21).
3)
Sarana
menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.
Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi).
4) Sarana untuk menyelamatkan manusia dari
dekadensi moral. Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai
pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih
dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka
berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat)
baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum).
2.3 Peminangan (Khitbah) Sebelum Pelaksanaan Pernikahan
2.3.1 Definisi Peminangan.
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam
pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah
Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah)
adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin
menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya.
Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
a. Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A. , sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi)
Dari Abu Hurairah R.A. , dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
b. Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan
melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata
etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat
ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal
itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua
belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan
keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan
melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
c.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan
yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu
kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
2.
Secara
tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
d. Hal-hal yang Berkaitan dengan Peminangan.
1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah
Peminangan.
Peminangan (khitbah)
adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari
pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena
peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang
akibat telah saling mengetahui. Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana
proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri
masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang
untuk diperlihatkan.
2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama
bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang
adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang
setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi
apabila :
·
Perempuan
itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara
jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan
itu.
·
Pinangan
kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
·
Peminang
pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi, ”Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya”. Seluruh imam bersepakat bahwa hadis tersebut berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain. Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang dipinang.
3. Orang-orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh
orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka
yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal
ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan :
·
Bukan
Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
·
Bukan
Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
·
Tidak
Dalam Masa ‘Iddah
e. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
·
Hanya
muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat
ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang
dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
·
Muka,
telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
·
Wajah,
leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut
Hambali.
·
Bagian-bagian
yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
·
Keseluruh
badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan
ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
f. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik dengan izin atau tidak. Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.
2.4
Pelaksanaan Pernikahan (Akad Nikah)
2.4.1
Pengertian Akad Nikah
Secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian,
kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita. secara syar’i : Ikrar seorang
pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya,
dengan tujuan :
·
Hidup
bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
·
Memperoleh
ketenangan jiwa.
·
Menyalurkan
syahwat dengan cara yang halal.
·
Melahirkan
keturunan yang sah dan shalih.
2.5 Rukun Dan Syarat Sah Nikah
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab
(pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan
Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan
kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan
ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian,
disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a)
Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b)
Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syara mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d)
Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai
wanita.
Syarat mempelai wanita
adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi
bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah
: 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak
bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a)
Muslim
laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b)
‘Adil
c)
Tidak
dipaksa.
d)
Tidaksedang
melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut :
a)
Ayah
b)
Kakek
c)
Saudara
laki-laki sekandung
d)
Saudara
laki-laki seayah
e)
Anak
laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f)
Anak
laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g)
Paman
sekandung
h)
Paman
seayah
i)
Anak
laki-laki dari paman sekandung
j)
Anak
laki-laki dari paman seayah.
k)
Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang
hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam
mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar
pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
a)
Muslim
laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b)
‘Adil
c)
Dapat
mendengar dan melihat.
d)
Tidak
dipaksa.
e)
Memahami
bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f)
Tidak
sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan
tentang mahar :
a)
Mahar
adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang
suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat
QS. An Nisaa’ : 4.
b)
Mahar
wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c)
Mahar
yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d)
Mahar
dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan
nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat
istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki
nilai dan bermanfaat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian khitbah adalah pinangan, yakni melamar untuk menyatakan permintaan atau ajakan mengingat perjodohan, dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan calaon istrinya.
Hukum khitbah adalah boleh, sebagaiman yang telah di jelaskan. Adapun syarat-syarat perempuan yang boleh di khitbah adalah:
1. Perempuan bukan istri orang lain.
2.
Bukan
pada saat iddah karena tala’ roj’i.
3.
Tidak
dalam pinangan orang lain.
4. Beberapa pendapat para ulama’ tentang
melihat pinangan ada yang mengatakan boleh, seperti jumhur ulama’ mengatakan
boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan dll.
3.2 Hikmah
1. Pengetahuan mengenai pengertian khitbah.
2.
Pengetahuan
tentang pinangan yang di syari’atkan oleh islam.
3. Dapat mengetahui syarat-syarat perempuan
yang boleh di pinang.
3.3 Saran
Dari makalah ini penulis mengharapkan agar para pembaca khususnya mahsiswa
mengetahui makna khitbah dan bagaiman melakukan
pinangan yang di syari’atkan agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewantoro Sulaiman, SE, 2002, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan: Solo.
- Rasjid, Sulaiman, H., 1996, Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo: Bandung
- Amir Syarifuddin,
2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
Kencana: Jakarta.
- Al-Hamdani, 2002, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani:
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar