Sabtu, 04 Mei 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH


SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH
Apa itu fiqih? Fiqih merupakan:
v  Salah satu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
v  Fiqih menurut bahasa adalah Islam.
v  Fiqih menurut istilah ialah: Artinya: “Mengetahui hukum syara’ atau agama dengan jalan berijtihad”.
Dalam sejarah dan perkembangan fiqih, Fiqih lahir bersamaan dengan agama islam, karena agama islam dan Fiqih saling berkaitan satu sama lain yaitu adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, dan juga hubungan sesama manusia. Karena luasnya aspek yang di atur oleh islam para ahli membagi ajaran islam kedalam beberapa bidang seperti bidang aqidah, ibadah, dan muamalah. Semua bidang tersebut pada masa Rasulullah di terangkan dalam Al-Qur’an sendiri yang kemudian di perjelas lagi oleh Rasulullah dalam sunnahnya.
Dimasa para sahabat masih belum banyak berbagai peristiwa yang sama sekali belum pernah terjadi sehingga di perlukan hukum terhadap peristiwa yang baru tersebut, para sahabat terpaksa berijtihad, dalam ijtihad kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat yang dinamakan ijma’ dan kadang juga terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan atsar. Para sahabat tidak pernah menetapkan hukum suatu perbuatan kecuali jika sudah terjadi dan keputusan ijtihad tidak di tulis dalam buku dikarenakan ijtihad tersebut belum di anggap sebagai ilmu melainkan hanya sebagai pemecahan suatu kasus yang mereka hadapi. Oleh sebab itu lah ijtihad para sahabat belum bisa dinamakan fiqih dan para sahabat yang mengeluarkan ijtihad belum dinamakan fuqaha.
Pada abad kedua dan ketiga saat daerah kekuasaan islam meluas sangat banyak ditemukan kasus-kasus baru yang belum pernah terjadi sehingga memaksa para fuqaha mengeluarkan ijtihad mencari hukum kasus tersebut. Sumber Fiqih pada waktu itu tidak hanya dari Al-qur’an dan sunnah dan juga di tambah dengan sumber lain seperti: ijma’, qiyas istihsaan, istishab, maslahatul mursalah, mazhab sahabat dan syariat sebelum islam. Pada masa ini lah mulainya pembukuan Sunnah, Fiqih dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya.
            Malik bin Anas adalah orang pertama yang berinisiatif mengumpulkan sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in yang dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama “muwatha” . Kemudian ada juga nama-nama seperti Imam Abu Yusuf yang menulis beberapa buku tentang fiqih, Imam Muhammad bin Hasan murid dari Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan pendapat pendapat Imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab berjudul “Zhirur Riwayah” yang menjadi dasar mazhab Hanafi dan di mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al Um” yang menjadi dasar mazhab Syafi’i.

Adapun periode-periode perkembangan fiqih:
1.    Periode Rasullullah (Periode risalah) yaitu: Periode dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H/632 M). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqih pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqih sebagai periode revolusi sosial dan politik. Periode ini berlangsung selama 22 tahun.
2.    Periode al-Khulafaur Rasyidun yaitu: Periode dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H/661 M. Sumber fiqih pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H/634 M), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan kondisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3.    Periode awal pertumbuahn fiqih yaitu: Masa dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H/644 M), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan. Sikap ini diambil Umar bin Al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan kitabullah. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra’yi).
Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH/611 M - 45 H/ 665 M) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits.
4.    Periode keemasan yaitu: Periode dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H/750 M - 656 H/1258 M) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqih guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqih misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj.
5.    Periode tahri, takhrij, dan tarjih dalam mazhab fiqh yaitu: Periode dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. 

Sejarah Ushul Fiqih
Ushul fiqih merupakan :
v  Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil hukum).
v  Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan mengumpulkan dalil secara rinci.
Sesungguhnya syariat Islam yang sampai kepada kita dengan perantaraan rasul terakhir sayyidina Muhammad bin Abdilah SAW dasarnya adalah Al-Qur’an. Rasulullah SAW. telah menjelaskan dengan sunnahnya baik perkataan maupun perbuataan yang saling menguatkan satu sama lain .
Maka masing-masing dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW menjadi landasan atau asal bagi terbentuknya hukum-hukum syariat dan keduanya merupakan sumber bagi para mujtahidin dalam melakukan istinbath (penetapan hukum). Ketika para imam Muslimin menyakni bahwa hukum-hukum syariat yang ditetapkan oleh As Syari’ (Allah SWT) mempunyai illat-illat (sebab-sebab) yang menimbulkan kemaslahatan ummat, maka timbullah sumber ketiga yang merupakan cabang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu Qiyas.
Bilamana As Syari’ (Allah swt) menetapkan illat dari suatu hukum atau illat itu dihasilkan dengan ijtihad,maka mereka (para imam) memperbandingkan apa yang tak terdapat di dalam nash dengan apa yang ada di dalam nash jika illat itu terdapat di situ karena mereka menganggapnya sebagai tempat bergantung nya hukum. Kemudian mereka menetapkan bahwa para mujtahidin terjaga dari kesalahan apabila mereka sepakat atas suatu hukum yang didapat dari kitabullah atau sunnah rasul saw Qiyas, maka timbullah sumber keempat bagi mereka yaitu Ijma’.  Dengan demikian dali-dalil hukum ada empat Kitabullah, As-Sunnah, Al-Qiyas, Al-Ijma’.  
Kemudian dalam realisasinya kembali kepada dua sumber yaitu: Al-Qur’an dan As-Sunnnah. Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab dan para pemberi fatwa dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW. menguasai bahasa tersebut dengan sempurna.

Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Fiqih dan Ushul Fiqih Di Indonesia
Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu ushul fiqih, sedangkan pada waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk untuk mempelajari ilmu fiqih mazhab Imam.                            
Orang  yang bisa mempelajari bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu pada masa itu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat. Sedangkan sebagian para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkan bermacam-macam Ilmu. Sesampai mereka di Mekah mereka berusaha untuk mempelajari bermacam-macam ilmu di masjidil Haram. Yang pertama kali mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah Alm. Syekh Ahmad Khatib orang Minangkabau (Sumatera Barat).
Alm. Ahmad Khatib mendapat penghargaan yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak dalam bermacam-macam ilmu Agama, bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka mempelajari Ilmu Ushul Fiqih, Tauhid, Musththalah Hadist, Bayan, Ma’aniy, Badi’Arud, Qawafiy, dan lain-lain.(5)                    
Selesainya mereka mempelajari dan menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya masing-masing dan mulailah mereka menebarkan  ilmu-ilmu tersebut, di antara mereka yang terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil Jabo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Abdullah Halaban, serta beberapa ulam lainnya. Semenjak itu tersiarlah ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu itu mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1890M/1310H.
Walaupun ilmu Ushul Fiqih sudah menjadi berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulama-ulama pada waktu itu tekun mempelajarinya, mereka tidak langsung menerima apa yang di katakan oleh Fuqaha sebelumnya, Tetapi adalah dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka memakai dalil yang kuat dalam undang-undang yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih. Kemudian barulah mengatur pelajaran Ushul Fiqih dalam bermacam-macam tingkatan. seperti: Tingkatan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan lain-lain .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar