SEJARAH
PERKEMBANGAN FIQIH
Apa itu fiqih? Fiqih merupakan:
v Salah satu ilmu yang mempelajari
bermacam-macam syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi
manusia baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
v Fiqih menurut bahasa adalah Islam.
v Fiqih menurut istilah ialah: Artinya:
“Mengetahui hukum syara’ atau agama dengan jalan berijtihad”.
Dalam sejarah dan perkembangan fiqih,
Fiqih lahir bersamaan dengan agama islam, karena agama islam dan Fiqih saling
berkaitan satu sama lain yaitu adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan tuhannya, dan juga hubungan sesama manusia. Karena luasnya aspek
yang di atur oleh islam para ahli membagi ajaran islam kedalam beberapa bidang
seperti bidang aqidah, ibadah, dan muamalah. Semua bidang tersebut pada masa Rasulullah
di terangkan dalam Al-Qur’an sendiri yang kemudian di perjelas lagi oleh Rasulullah
dalam sunnahnya.
Dimasa para sahabat masih belum banyak
berbagai peristiwa yang sama sekali belum pernah terjadi sehingga di perlukan
hukum terhadap peristiwa yang baru tersebut, para sahabat terpaksa berijtihad,
dalam ijtihad kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat yang dinamakan ijma’
dan kadang juga terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan atsar. Para sahabat
tidak pernah menetapkan hukum suatu perbuatan kecuali jika sudah terjadi dan
keputusan ijtihad tidak di tulis dalam buku dikarenakan ijtihad tersebut belum
di anggap sebagai ilmu melainkan hanya sebagai pemecahan suatu kasus yang
mereka hadapi. Oleh sebab itu lah ijtihad para sahabat belum bisa dinamakan
fiqih dan para sahabat yang mengeluarkan ijtihad belum dinamakan fuqaha.
Pada abad kedua dan ketiga saat daerah
kekuasaan islam meluas sangat banyak ditemukan kasus-kasus baru yang belum
pernah terjadi sehingga memaksa para fuqaha mengeluarkan ijtihad mencari hukum
kasus tersebut. Sumber Fiqih pada waktu itu tidak hanya dari Al-qur’an dan
sunnah dan juga di tambah dengan sumber lain seperti: ijma’, qiyas istihsaan,
istishab, maslahatul mursalah, mazhab sahabat dan syariat sebelum islam. Pada
masa ini lah mulainya pembukuan Sunnah, Fiqih dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
lainnya.
Malik bin Anas adalah orang pertama yang berinisiatif mengumpulkan sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in yang dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama “muwatha” . Kemudian ada juga nama-nama seperti Imam Abu Yusuf yang menulis beberapa buku tentang fiqih, Imam Muhammad bin Hasan murid dari Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan pendapat pendapat Imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab berjudul “Zhirur Riwayah” yang menjadi dasar mazhab Hanafi dan di mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al Um” yang menjadi dasar mazhab Syafi’i.
Malik bin Anas adalah orang pertama yang berinisiatif mengumpulkan sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in yang dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama “muwatha” . Kemudian ada juga nama-nama seperti Imam Abu Yusuf yang menulis beberapa buku tentang fiqih, Imam Muhammad bin Hasan murid dari Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan pendapat pendapat Imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab berjudul “Zhirur Riwayah” yang menjadi dasar mazhab Hanafi dan di mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al Um” yang menjadi dasar mazhab Syafi’i.
Adapun
periode-periode perkembangan fiqih:
1. Periode Rasullullah (Periode risalah) yaitu: Periode dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi
SAW (11 H/632 M). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada
di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah
Nabi SAW. Pengertian fiqih pada masa itu identik dengan syarat, karena
penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah
SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqih sebagai periode revolusi sosial dan politik. Periode ini berlangsung selama 22 tahun.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqih sebagai periode revolusi sosial dan politik. Periode ini berlangsung selama 22 tahun.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun yaitu: Periode dimulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan
Islam pada tahun 41 H/661 M. Sumber fiqih pada periode ini, disamping Al-Qur’an
dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para
sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya
tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin
al-Khattab menjadi khalifah (13 H/634 M), ijtihad sudah merupakan upaya yang
luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah
masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan
semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya
masing-masing.
Pada periode ini, untuk
pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan
nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena
daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing
memiliki budaya, tradisi, situasi dan kondisi yang menantang para fuqaha dari
kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru
tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat
pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai
dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika
dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan
ijtihad.
3. Periode awal pertumbuahn fiqih yaitu: Masa dimulai pada
pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan
titik awal pertumbuhan fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam.
Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur
Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H/644 M),
munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah
tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas’ud muncul
sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana.
Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah
di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan
kemaslahatan. Sikap ini diambil Umar bin Al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena
situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan kitabullah. Atas
dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari
perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra’yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra’yi).
Sementara itu, di Madinah
yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH/611 M - 45 H/ 665 M)
dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai
persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak
menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan
sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah
dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal
ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW
diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak
hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai
persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal
bagi munculnya alirah ahlulhadits.
4. Periode keemasan yaitu: Periode dimulai dari awal
abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban
Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode
sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad
yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu
agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H/750 M - 656 H/1258 M) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqih guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqih misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj.
Dinasti Abbasiyah (132 H/750 M - 656 H/1258 M) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqih guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqih misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj.
5. Periode tahri, takhrij, dan tarjih dalam mazhab fiqh yaitu: Periode dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan
tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing
mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh
imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi.
Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari
prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus
sebagai mujtahid
fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip
yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani
melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap
fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk
mempertahankan mazhab imamnya.
Sejarah Ushul Fiqih
Ushul fiqih
merupakan :
v Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah
yang menetapkan dalil hukum).
v Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk
mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan mengumpulkan dalil secara
rinci.
Sesungguhnya syariat Islam yang sampai kepada kita dengan perantaraan
rasul terakhir sayyidina Muhammad bin Abdilah SAW dasarnya adalah Al-Qur’an.
Rasulullah SAW. telah menjelaskan dengan sunnahnya baik perkataan maupun
perbuataan yang saling menguatkan satu sama lain .
Maka masing-masing dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW
menjadi landasan atau asal bagi terbentuknya hukum-hukum syariat dan keduanya
merupakan sumber bagi para mujtahidin dalam melakukan istinbath (penetapan
hukum). Ketika para imam Muslimin menyakni bahwa hukum-hukum syariat yang
ditetapkan oleh As Syari’ (Allah SWT) mempunyai illat-illat (sebab-sebab) yang
menimbulkan kemaslahatan ummat, maka timbullah sumber ketiga yang merupakan
cabang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW yaitu Qiyas.
Bilamana As Syari’ (Allah swt) menetapkan illat dari suatu hukum
atau illat itu dihasilkan dengan ijtihad,maka mereka (para imam)
memperbandingkan apa yang tak terdapat di dalam nash dengan apa yang ada di
dalam nash jika illat itu terdapat di situ karena mereka menganggapnya sebagai
tempat bergantung nya hukum. Kemudian mereka menetapkan bahwa para mujtahidin
terjaga dari kesalahan apabila mereka sepakat atas suatu hukum yang didapat
dari kitabullah atau sunnah rasul saw Qiyas, maka timbullah sumber keempat bagi
mereka yaitu Ijma’. Dengan demikian dali-dalil hukum ada empat Kitabullah,
As-Sunnah, Al-Qiyas, Al-Ijma’.
Kemudian dalam realisasinya kembali kepada dua sumber yaitu: Al-Qur’an
dan As-Sunnnah. Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab dan para pemberi fatwa dari
sahabat-sahabat Rasulullah SAW. menguasai bahasa tersebut dengan sempurna.
Sejarah Perkembangan
dan Pertumbuhan Fiqih dan Ushul Fiqih Di Indonesia
Sebagaimana yang telah disebutkan tadi
bahwa para ulama telah berusaha untuk membukukan ilmu ushul fiqih, sedangkan
pada waktu itu ulama-ulama di Indonesia sibuk untuk mempelajari ilmu fiqih
mazhab Imam.
Orang yang bisa mempelajari
bermacam-macam ilmu dengan menerjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu
pada masa itu mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat.
Sedangkan sebagian para Ulama pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
untuk menambah ilmu-ilmu agama, bahkan untuk mencukupkan bermacam-macam Ilmu. Sesampai
mereka di Mekah mereka berusaha untuk mempelajari bermacam-macam ilmu di
masjidil Haram. Yang pertama kali mempelajari di bidang ilmu pengetahuan adalah
Alm. Syekh Ahmad Khatib orang Minangkabau (Sumatera Barat).
Alm. Ahmad Khatib mendapat penghargaan
yang amat tinggi dan keuntungan yang banyak dalam bermacam-macam ilmu Agama,
bahkan dalam ilmu pasti. Setelah itu barulah mereka mempelajari Ilmu Ushul Fiqih,
Tauhid, Musththalah Hadist, Bayan, Ma’aniy, Badi’Arud, Qawafiy, dan
lain-lain.(5)
Selesainya mereka mempelajari dan
menuntut Ilmu Di Mekah barulah mereka pulang ke negerinya masing-masing dan
mulailah mereka menebarkan ilmu-ilmu tersebut, di antara mereka yang
terkenal di Sumatera Barat ialah Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdul Karim
Amarullah, Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abbas Abdullah, Syekh Ibrahim Musa,
Syekh Sulaiman Ar Rusuli, Syekh Jamil Jabo, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan
Syekh Abdullah Halaban, serta beberapa ulam lainnya. Semenjak itu tersiarlah
ilmu tersebut di daerah-daerah dan pelosok-pelosok, bahkan diwaktu itu
mengajarkan ilmu-ilmu tersebut kepada orang-orang yang mempunyai minat dan
keinginan untuk mempelajarinya, ini terjadi pada tahun 1890M/1310H.
Walaupun ilmu Ushul Fiqih sudah menjadi
berita yang termasyhur di Indonesia, bahkan ulama-ulama pada waktu itu tekun
mempelajarinya, mereka tidak langsung menerima apa yang di katakan oleh Fuqaha
sebelumnya, Tetapi adalah dengan menyelidiki secara mendalam, bahkan mereka
memakai dalil yang kuat dalam undang-undang yang telah ditetapkan dalam ilmu
ushul fiqih. Kemudian barulah mengatur pelajaran Ushul Fiqih dalam
bermacam-macam tingkatan. seperti: Tingkatan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah
dan lain-lain .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar