BAB I
LATAR BELAKANG
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua
macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah.
Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat
konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di
negara-negara seperti Irak dan Lebanon. Bahkan akhir-akhir ini, konflik Syi’ah
ini juga terjadi di Indonesia.
Terlepas dari hubungan
antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab
teologi menarik untuk dibahas. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Semoga
karya kami yang sederhana ini dapat memberikan gambaran yang jelas, utuh, dan
dapat dimengerti, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai
seorang Muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syi’ah
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari
tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah.
Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
a. Syi’ah
adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya
adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw.
Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti
pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah
al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk
golongannya (Nuh).
b. Syi’ah secara
harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk
menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait.
Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan
isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi
Muhammad—pen.) masih hidup.[1]
c. Syi’ah
adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak
menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw
sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi
saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw)
beserta keturunannya.
d. Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut,
partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara
khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung
pengertian syî’atu ‘Aliyyîn, pengikut
atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.
e. Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara
umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai
makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian
yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang
mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu
wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.
f. Secara
lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara
terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa
hanya Rasulullah saww (shallallâhu
‘alayhi wa âlihi wa sallam—pen.)
yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.
2.2 Sejarah Syi’ah
Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai
awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan
Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu
muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut
kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib.
Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa
akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin
Abi Thalib.
Pendapat yang paling populer adalah
bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah
‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim
disebut sebagai peristiwa tahkîm
atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan ‘Ali memberontak
terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut
golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah
disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).
Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali
bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah
wafatnya Nabi Muhammad telah tumbuh sejak Nabi Muhammad masih hidup, dalam arti
bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut
Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad
saw.
Namun demikian, terlepas dari semua
pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan
setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah terjadi pula kemelut antara
sesama pasukan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara
yang tetap setia dan yang membangkang.
2.3 Tokoh-tokoh Syi’ah
Dalam pertimbangan Syi’ah, selain
terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali,
Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahlulbait yang mempunyai pengaruh dan
andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin
Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq. Kedua tokoh ini dikenal sebagai
orang-orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja’far al-Shadiq bahkan dianggap
sebagai cikal bakal ilmu fiqh dan ushul fiqh, karena keempat tokoh utama fiqh
Islam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal, secara langsung atau tidak langsung pernah menimba ilmu darinya. Oleh
karena itu, tidak heran bila kemudian Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Rektor
Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial di kalangan
pengikut Sunnah (Ahlussunnah—pen.).
Mahmud Syaltut memfatwakan bolehnya setiap orang menganut fiqh Zaidi atau fiqh
Ja’fari Itsna ‘Asyariyah.
Adapun Zaid bin ‘Ali bin Husain
Zainal ‘Abidin terkenal ahli di bidang tafsir dan fiqh. Pada usia yang relatif
muda, Zaid bin ‘Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh Ahlulbait yang
menonjol. Salah satu karya yang ia hasilkan adalah kitab al-Majmû’ (Himpunan/Kumpulan) dalam bidang fiqh. Juga karya lainnya
mengenai tafsir, fiqh, imamah, dan haji.
Selain dua tokoh di atas, terdapat
pula beberapa tokoh Syi’ah, di antaranya:
1. Nashr bin
Muhazim
2. Ahmad bin
Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
3. Ahmad bin
Abi ‘Abdillah al-Barqi
4. Ibrahim bin
Hilal al-Tsaqafi
5. Muhammad bin
Hasan bin Furukh al-Shaffar
6. Muhammad bin
Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
7. Ali bin
Babawaeh al-Qomi
8. Syaikhul
Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
9. Ibn ‘Aqil
al-‘Ummani
10. Muhammad bin
Hamam al-Iskafi
11. Muhammad bin
‘Umar al-Kasyi
12. Ibn
Qawlawaeh al-Qomi
13. Ayatullah
Ruhullah Khomeini
14. Al-‘Allamah
Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
15. Sayyid
Husseyn Fadhlullah
16. Murtadha
Muthahhari
17. ‘Ali
Syari’ati
18. Jalaluddin
Rakhmat
19. Hasan Abu
Ammar
2.4 Ajaran-ajaran Syi’ah
a.
Ahlulbait. Secara
harfiah ahlulbait berarti keluarga
atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan
kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian
Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani
Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri,
‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi
Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.
b.
Al-Badâ’. Dari segi
bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin
al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah
swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya
dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah
itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak
diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam
Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur.
Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa
yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan
karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.”
Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan
Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada
zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal
sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
c.
Asyura.
Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang
berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang
diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya
Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin
Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura
tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan
kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan
keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta
memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti
mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di
Indonesia, upacara asyura juga
dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera
Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.
d.
Imamah (kepemimpinan).
Imamah adalah keyakinan bahwa setelah
Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau
risalah Nabi. Atau, dalam
pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang
bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta
membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal
mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil
keputusan. Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu
mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka
adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam
Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan
atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam
sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.
e.
‘Ishmah. Dari segi
bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar
dari kata ‘ashama yang berarti
memelihara atau menjaga. ‘Ishmah
ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin
oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.[2][22] Ali
Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah
sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau
masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang
diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan
kelemahan.
f.
Mahdawiyah. Berasal dari
kata mahdi, yang berarti keyakinan
akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan
kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam
Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam
yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa
Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di
samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja
manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan
muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.
g.
Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya
sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh
terdiri dari dua kata: wilâyah
berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh
berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah
al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.
h.
Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali.
Raj’ah adalah keyakinan akan
dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah
hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah
swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul
Mun’eim al-Nemr mendefinisikan raj’ah
sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian
manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat
Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali
bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah
untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas
dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.
i.
Taqiyah. Dari segi
bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah
adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan
bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap
penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan
salah satu dasar mazhab Syi’ah.
j.
Tawassul. Adalah
memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang
Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan
Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul
merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan
bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul
dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait.
Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai
Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.
k.
Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat
seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî
berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân
yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap
ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang
mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî
kepada Ahlulbait dan tabarrî dari
musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang
berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap
aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai
pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang
menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad
bin Hanbal).
2.5 Sekte-sekte Syi’ah
Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat
golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan
Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna
‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyah.
Selain itu terdapat juga pendapat
lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima
kelompok, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat (Syi’ah sesat), dan
Isma’iliyah. Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah
menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi
15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan
Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.
Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran
Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu Sekte Imamiyah
(yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah,
Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.
Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni
dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok,
Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara
rinci sebagai berikut :
a.
Al-Ghaliyah : Bayaniyah,
Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah,
Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah,
Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah,
Halajiyah, Isma’iliyah.
b.
Imamiyah : Qath’iyah,
Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah,
Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah,
Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah),
Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah),
‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.
c.
Zaidiyah : Jarudiyah,
Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah
adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib
dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah
Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara
garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan
kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang
memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti
tertulis di atas. Wallâhu a’lam bi
al-shawâb
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, ed. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, cet.
ke-3.
Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab
Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, t.t.
Al-Hafni, Abdul Mun’im. Ensiklopedia
Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj.
Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006, cet. ke-1.
Al-Nemr, Abdul Mun’eim. Sejarah dan
Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.
Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim
History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A.
Mu’in. Bandung: Mizan Pustaka, 2004, cet. ke-1.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi
Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.
Karya, Soekama, dkk. Ensiklopedi Mini
Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, cet. ke-1.
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Sou’yb, Joesoef. Pertumbuhan dan
Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982,
cet. ke-1.
Syari’ati, Ali. Islam Mazhab
Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan
Pustaka, 1995, cet. ke-2.
Syirazi, Nashir Makarim. Inilah
Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab. Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H, cet.
ke-2.
Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar, ed. Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan,
2000, cet. ke-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar